Kamis, 23 Oktober 2014

TENTANG S1 KEPERAWATAN UMM







Informasi Umum
Program Studi S1 Keperawatan UMM bertekad menghasilkan lulusan Sarjana Keperawatan profesional dan kompeten di bidang keperawatan dengan memiliki kekokohan intelektual, kedalaman spiritual, moral yang tinggi dan ketrampilan yang handal. Paradigma model pembelajaran dengan prinsip Student-Centered Learning (SCL) yang konsekuensinya  adalah dosen sebagai fasilitator dan motivator dengan menyediakan beberapa strategi belajar yang memungkinkan mahasiswa (bersama dosen) memilih, menemukan dan menyusun pengetahuan serta cara mengembangkan ketrampilannya (Method of inquiry and discovery).            

Beban studi yang harus ditempuh mahasiswa sebanyak 146 sks, dalam periode 7-8 semester, yang diselenggarakan di kelas, laboratorium keperawatan dengan desain mini hospital sebagai penunjang yang berbasis IT, serta early exposure ke rumah sakit dan komunitas sebagai upaya  untuk menambah ketrampilan dalam mempersiapkan program profesi mahasiswa.

Program Studi S1 Keperawatan didukung oleh staff dosen professional dengan kualifikasi Magister Keperawatan dan Spesialis Keperawatan Maternity, Community, Infant and Children, Management, Medical Surgical serta Mental Health yang berasal dari Flinders University Australia, Kasetsart           university Thailand serta Universitas-universitas  Terkemuka di Indonesia.

 Definisi Keperawatan
“Perawat adalah mereka yang memiliki kemampuan dan kewenangan melakukan tindakan keperawatan berdasarkan ilmu yang dimilikinya yang diperoleh melalui pendidikan keperawatan.” (UU Kesehatan No. 23, 1992)
Menurut (Effendy, 1995), “Perawatan adalah pelayanan essensial yang diberikan oleh perawat terhadap individu, keluarga dan masyarakat. Pelayanan yang diberikan adalah upaya mencapai derajat kesehatan semaksimal mungkin sesuai dengan potensi yang dimiliki dalam menjalankan kegiatan di bidang promotif, preventif, kuratif dan rehabilitatif dengan menggunakan proses keperawatan.”
            Merawat mempunyai suatu posisi sentral. Merawat merupakan suatu kegiatan dalam ruang lingkup yang luas yang dapat menyangkut diri kita sendiri, menyangkut sesuatu yang lain dan menyangkut lingkungan. Jika kita merawat sesuatu, kita menginginkan hasil yang dicapai akan memuaskan. Jadi kita akan selalu berusaha untuk mencapai sesuatu keseimbangan antara keinginan kita dan hasil yang akan diperoleh.

Sejarah Keperawatan di Indonesia
Sejarah perkembangan keperawatan di Indonesia telah banyak dipengaruhi oleh kolonial penjajah diantaranya Jepang, Belanda, dan Inggris. Dalam perkembangannya di Indonesia dibagi menjadi dua masa diantaranya:
            Pertama, masa sebelum kemerdekaan, pada masa itu negara Indonesia masih dalam penjajahan Belanda. Perawat berasal dari Indonesia disebut sebagai verpleger dengan dibantu oleh zieken oppaser sebagai penjaga orang sakit, perawat tersebut pertama kali bekerja di rumah sakit Binnen Hospital yang terletak di Jakarta pada tahun 1799 yang ditugaskan untuk memelihara kesehatan staf dan tentara Belanda, sehingga akhirnya pada masa Belanda terbentuklah dinas kesehatan tentara dan dinas kesehatan rakyat. Mengingat tujuan pendirian rumah sakit hanya untuk kepentingan Belanda, maka tidak diikuti perkembangan dalam keperawatan. Kemudian pada masa penjajahan Inggris yaitu Rafless, mereka memperhatikan kesehatan rakyat dengan moto kesehatan adalah milik manusia dan pada saat itu pula telah diadakan berbagai usaha dalam memelihara kesehatan diantaranya usaha pengadaan pencacaran secara umum, membenahi cara perawatan pasien dengan gangguan jiwa dan memperhatikan kesehatan pada para tawanan.
            Beberapa rumah sakit dibangun khususnya di Jakarta yaitu pada tahun 1819, didirikan rumah sakit Stadsverband, kemudian pada tahun 1919 rumah sakit tersebut pindah ke Salemba dan sekarang dikenal dengan nama RSCM (Rumah Sakit Cipto Mangunkusumo), kemudian diikuti rumah sakit milik swasta. Pada tahun 1942-1945 terjadi kekalahan tentara sekutu dan kedatangan tentara Jepang. Perkembangan keperawatan mengalami kemunduran.
            Kedua, masa setelah kemerdekaan, pada tahun 1949 telah banyak rumah sakit yang didirikan serta balai pengobatan dan dalam rangka memenuhi kebutuhan tenaga kesehatan pada tahun 1952 didirikan sekolah perawat, kemudian pada tahun 1962 telah dibuka pendidikan keperawatan setara dengan diploma. Pada tahun 1985 untuk pertama kalinya dibuka pendidikan keperawatan setingkat dengan sarjana yang dilaksanakan di Universitas Indonesia dengan nama Program Studi Ilmu Keperawatan dan akhirnya dengan berkembangnya Ilmu Keperawatan, maka menjadi sebuah Fakultas Ilmu keperawatan dan beberapa tahun kemudian diikuti berdirinya pendidikan keperawatan setingkat S1 di berbagai universitas di Indonesia seperti di Bandung, Yogyakarta, Surabaya, dan lain-lain.

Dampak Sejarah terhadap Profil Perawat di Indonesia
            Sejarah adalah setiap peristiwa atau kejadian di masa lampau yang menyenangkan maupun memilukan. Sejarah bukan sebatas cerita untuk generasi mendatang yang ditulis sekadar untuk dihafalkan. Setiap manusia memiliki sejarah masing-masing, baik yang ber­sifat individual, komunal, maupun nasional. Sama halnya dengan sejarah perjuangan bangsa. Kemerdekaan yang diraih bukan ha­nya melibatkan tentara, tetapi juga seluruh elemen bangsa. Mulai dari pemimpin sampai rakyat jelata, orang tua sampai anak-anak. Semuanya bahu-membahu berjuang dengan semangat patriotis­me.
            Sejarah akan mewarnai masa depan. Apa yang terjadi di masa sekarang dipengaruhi oleh sejarah pada masa sebelumnya. Ke­suksesan yang diraih seseorang dalam hidupnya merupakan hasil atau buah dari keuletan dan perjuangannya di masa lalu. Contoh­nya adalah negara Jepang. Negara tersebut menjadi salah satu negara yang pesat perekonomiannya. Keberhasilan ini salah satu­nya dipengaruhi oleh semangat bangsa ini untuk terus maju dan meningkatkan produktivitasnya. Teori yang sama berlaku pula di negara kita. Keterpurukan yang dialami bangsa Indonesia di ham­pir segala bidang disebabkan oleh perilaku korup yang telah men­darah daging di negara ini sejak dulu.
            Sistem hegemoni yang diterapkan oleh bangsa Eropa selama menjajah Indonesia telah memberi dampak yang sangat besar pada seluruh lini kehidupan, termasuk profesi perawat. Posisi Indonesia sebagai negara yang terjajah (subaltern) menyebabkan kita selalu berada pada kondisi yang tertekan, lemah, dan tidak berdaya. Kita cenderung menuruti apa saja yang menjadi keinginan penjajah. Situasi ini terus berlanjut dalam kurun waktu yang lama sehingga terbentuk suatu formasi kultural. Kultur di dalamnya mencakup pola perilaku, pola pikir, dan pola bertindak. Formasi kultural ini terus terpelihara dari generasi ke generasi sehingga menjadi se­suatu yang superorganic. Sejarah keperawatan di Indonesia pun tidak lepas dari peng­aruh penjajahan. Kali ini, penulis mencoba menganalisis mengapa masyarakat menganggap perawat sebagai pembantu profesi kese­hatan lain, dalam hal ini profesi dokter. Ini ada kaitannya dengan konsep hegemoni. Seperti dijelaskan di awal, perawat awalnya direkrut dari Boemi Putera yang tidak lain adalah kaum terjajah, sedangkan dokter didatangkan dari negara Belanda, sebab pada saat itu di Indonesia belum ada sekolah kedokteran. Sesuai dengan konsep hegemoni, posisi perawat di sini adalah sebagai subaltern yang terus-menerus berada dalam cengkeraman kekuasaan dokter Belanda (penjajah). Kondisi ini menyebabkan perawat berada pada posisi yang termarjinalkan. Keadaan ini berlangsung selama ber­abad-abad sampai akhirnya terbentuk formasi kultural pada tu­buh perawat.
Posisi perawat sebagai subaltern yang tunduk dan patuh meng­ikuti apa keinginan penjajah lama-kelamaan menjadi bagian dari karakter pribadi perawat. Akibatnya, muncul stigma di masya­rakat yang menyebut perawat sebagai pembantu dokter. Karena stigma tersebut, peran dan posisi perawat di masyarakat semakin termarjinalkan. Kondisi semacam ini telah membentuk karakter dalam diri perawat yang pada akhirnya berpengaruh pada profesi keperawatan secara umum. Perawat menjadi sosok tenaga kese­hatan yang tidak mempunyai kejelasan wewenang atau ruang lingkup. Orientasi tugas perawat dalam hal ini bukan untuk mem­bantu klien mencapai derajat kesehatan yang optimal, melainkan membantu pekerjaan dokter. Perawat tidak diakui sebagai suatu profesi, melainkan pekerjaan di bidang kesehatan yang aktivitas­nya bukan didasarkan atas ilmu, tetapi atas perintah atau instruksi dokter, sebuah rutinitas belaka. Pada akhirnya, timbul sikap manut perawat terhadap dokter.
Dampak lain yang tidak kalah penting adalah berkembangnya perilaku profesional yang keliru dari diri perawat. Ada sebagian perawat yang menjalankan praktik pengobatan yang sebenarnya merupakan kewenangan dokter. Realitas seperti ini sering kita te­mui di masyarakat. Uniknya, sebutan untuk perawat pun bera­gam. Perawat laki-laki biasa disebut mantri, sedangkanperawat perempuan disebut suster. Ketimpangan ini terjadi karena perawat sering kali diposisikan sebagai pembantu dokter. Akibatnya, pe­rawat terbiasa bekerja layaknya seorang dokter, padahal lingkup kewenangan kedua profesi ini berbeda.
            Tidak menutup kemungkinan, fenomena seperti ini masih te­rus berlangsung hingga kini. Hal ini tentunya akan menghambat upaya pengembangan keperawatan menjadi profesi kesehatan yang profesional. Seperti kita ketahui, kultur yang sudah terinternalisasi akan sulit untuk diubah. Dibutuhkan persamaan persepsi dan cita-­cita antar perawat serta kemauan profesi lain untuk menerima dan mengakui perawat sebagai sebuah profesi kesehatan yang pro­fesional. Tentunya kita berharap pengakuan ini bukan sekedar wa­cana, tetapi harus terealisasikan dalam kehidupan profesional.
Paradigma yang kemudian terbentuk karena kondisi ini ada­lah pandangan bahwa perawat merupakan bagian dari dokter. Dengan demikian, dokter berhak "mengendalikan" aktivitas pera­wat terhadap klien. Perawat menjadi perpanjangan tangan dokter dan berada pada posisi submisif. Kondisi seperti ini sering kali temui dalam pelayanan kesehatan di rumah sakit.Salah satu penyebab­nya adalah masih belum berfungsinya sistem kolaborasi antara dokter dan perawat dengan benar.
            Jika kita cermati lebih jauh, hal yang berlaku justru sebalik­nya. Dokter seharusnya merupakan bagian dari perawatan klien. Seperti kita ketahui, perawat merupakan tenaga kesehatan yang paling sering dan paling lama berinteraksi dengan klien. Asuhan keperawatan yang diberikan pun sepanjang rentang sehat-sakit. Dengan demikian, perawat adalah pihak yang paling mengetahui perkembangan kondisi kesehatan klien secara menyeluruh dan bertanggung jawab atas klien. Sudah selayaknya jika profesi kese­hatan lain meminta "izin" terlebih dahulu kepada perawat se­belum berinteraksi dengan klien. Hal yang sama juga berlaku untuk keputusan memulangkan klien. Klien baru boleh pulang setelah perawat menyatakan kondisinya memungkinkan.Walaupun prog­ram terapi sudah dianggap selesai, program perawatan masih te­rus berlanjut karena lingkup keperawatan bukan hanya pada saat klien sakit, tetapi juga setelah kondisi klien sehat.
Tren Keperawatan Sekarang dan Masa Depan
Kemajuan ilmu pengetahuan dan teknologi di segala bidang termasuk bidang kesehatan, peningkatan status ekonomi masyarakat, peningkatan perhatian terhadap pelaksanaan hak asasi manusia, kesadaran masyarakan akan kebutuhan kesehatan mengakibatkan masyarakat semakin sadar akan pentingnya hidup sehat dan melahirkan tuntutan akan pelayanan kesehatan yang berkualitas.
Pergeseran akan fenomena tersebut, telah mengubah sifat pelayanan keperawatan dari pelayanan vokasional yang hanya berdasarkan keterampilan belaka kepada pelayanan profesional yang berpijak pada penguasaan iptek keperawatan dan spesialisasi dalam pelayanan keperawatan.
Fokus peran dan fungsi perawat bergeser dari penekanan aspek kuratif kepada peran aspek preventif dan promotif tanpa meninggalkan peran kuratif dan rehabilitatif. Kondisi ini menuntut upaya kongkrit dari profesi keperawatan, yaitu profesionalisme keperawatan. Proses ini meliputi pembenahan pelayanan keperawatan dan mengoptimalkan penggunaan proses keperawatan, pengembangan dan penataan pendidikan keperawatan dan juga antisipasi organisasi profesi (PPNI).
1.      Pengembangan dan Penataan Pendidikan Keperawatan
                 Meningkatnya tuntutan masyarakat terhadap pelayanan keperawatan yang profesional, telah memicu perawat untuk terus mengembangkan dirinya dalam berbagai bidang, terutama penataan sistem pendidikan keperawatan.
Oleh karena itu profesi keperawatan dengan landasan yang kokoh perlu memperhatikan wawasan keilmuan, orientasi pendidikan, dan kerangka konsep pendidikan.
a) Wawasan Keilmuan
Pada tingkat pendidikan akademi, penggunaan kurikulum D III keperawatan 1999, merupakan wujud dari pembenahan kualitas lulusan keperawatan. Wujud ini dapat dilihat dengan adanya:
           Mata Kuliah Umum (MKU), yaitu: Pendidikan Agama dan Pancasila.   
           Mata Kuliah Dasar Keahliah (MKDK), yaitu: Anatomi, Fisiologi.
                     Mata Kuliah Keahlian (MKK), yaitu: KDK, KDM I dan II.
Demikian juga halnya dengan tingkat pendidikan S1 Keperawatan, yaitu dengan berlakunya kurikulum Ners pada tahun 1998. Sementara itu, di Fakultas Ilmu Keperawatan Universitas Indonesia (FIK-UI) telah dibuka S2 Keperawatan untuk Studi Manajemen Keperawatan, Keperawatan Maternitas dan Keperawatan Komunitas. Dan selanjutnya akan dibuka Studi S2 Keperawatan Jiwa dan Keperawatan Medikal Bedah.
Dapat disimpulkan bahwa saat ini perkembangan keperawatan diarahkan kepada profesionalisme dengan spesialisasi bidang keperawatan.
b) Orientasi Pendidikan
                 Pendidkan keperawatan bagaimanapun akan tetap berorientasi pada pengembangan pengetahuan dan teknologi. Artinya pengalaman belajar baik kelas, laboratorium dan lapangan tetap mengikuti kemajuan ilmu pengetahuan dan teknologi serta memanfaatkan segala ilmu yang memungkinkan penguasaan iptek.  c) Kerangka Konsep
                          Berpikir ilmiah pembiasaan sikap dan tingkah laku profesional, belajar aktif, pendidikan di lingkungan masyarakat serta penguasaan iptek keperawatan merupakan karakteristik dari pendidikan profesional keperawatan.

2.      Perkembangan Pelayanan Keperawatan
Perubahan adat pelayanan dari vokasional menjadi perawat dengan fokus asuhan keperawatan dengan peran preventif dan promotif tanpa melupakan peran kreatif dan rehabilitatif harus didukung dengan  peningkatan sumber daya manusia dibidang keperawatan. Sehingga pada pelaksaan pemberian sumber keperawatan dapat terjadinya pelayanan yang efisien, efektif, serta berkualitas. Selanjtunya, saat ini juga telah berkembang berbagai model prektis keperawatan profesional, seperti :
Ø  Praktik keperawatan di rumah sakit kesehatan.
Ø  Praktik keperawatan di rumah (home caffe).
Ø  Praktik keperawatan berkelompok (nursing home).
Ø  Praktik keperawatan perorangan, yaitu melalui keputusan Kepmenkes No. 647 tahun 2000, yang kemudian di revisi menjadi Kepmenkes No. 1239 tahun 2001 tentang Registrasi dan Praktik Keperawatan.
Tantangan Perawat Pada Era Reformasi  Saat Ini
Keperawatan adalah profesi yang mulia jika dilakukan dengan penuh keikhlasan, namun dalam menjalani profesi keperawatan tidak cukup hanya mengandalkan sikap ikhlas saja, akan tetapi diperlukan pengetahuan, wawasan, serta sikap yang professional sebagai seorang perawat. Hal itu sangat penting karena dalam menjalankan profesi keperawatan banyak tantangan-tantangan yang harus di hadapi oleh perawat sesuai dengan perannya.
Evolusi perkembangan sistem pelayanan kesehatan telah mengubah peran dan tanggung jawab perawat secara signifikan. Dalam perkembangan lebih lanjut, perawat dituntut untuk bertanggung jawab memberikan praktik keperawatan yang aman dan efektif serta bekerja dalam lingkungan yang memiliki standar klinik yang tinggi.” (Mahlmeister, 1999).
Profesionalisme keperawatan merupakan proses dinamis dimana profesi keperawatan yang telah terbentuk (1984) mengalami perubahan dan perkembangan karakteristik sesuai dengan tuntutan profesi dan kebutuhan masyarakat. Proses profesionalisasi merupakan proses pengakuan terhadap sesuatu yang dirasakan, dinilai dan diterima secara spontan oleh masyarakat. Profesi keperawatan, merupakan profesi yang sudah mendapatkan pengakuan dari profesi lain, dituntut untuk mengembangkan dirinya untuk berpartisipasi aktif dalam sistem pelayanan kesehatan di Indonesia agar keberadaannya mendapat pengakuan dari masyarakat. Untuk mewujudkan pengakuan tersebut, maka perawat masih harus memperjuangkan langkah-langkah profesionalisme sesuai dengan keadaan dan lingkungan sosial di Indonesia.
Proses ini merupakan tantangan bagi perawat Indonesia dan perlu dipersiapkan dengan baik, berencana, berkelanjutan dan tentunya memerlukan waktu yang lama.
Indonesia telah memasuki era baru, yaitu era reformasi yang ditandai dengan perubahan-perubahan yang cepat disegala bidang, menuju kepada keadaan yang lebih baik. Di bidang kesehatan tuntutan reformasi total muncul karena masih adanya ketimpangan hasil pembangunan kesehatan antar daerah dan antar golongan, kurangnya kemandirian dalam pembangunan bangsa dan derajat kesehatan masyarakat yang masih tertinggal di bandingkan dengan negara tetangga. Reformasi bidang kesehatan juga diperlukan karena adanya lima fenomena utama yang mempunyai pengaruh besar terhadap keberhasilan pembangunan kesehatan yaitu perubahan pada dinamika kependudukan, temuan substansial IPTEK kesehatan/kedokteran, tantangan global, perubahan lingkungan dan demokrasi disegala bidang. (Dikutip dari : Nursalam, MN)
Institusi pendidikan keperawatan sangat bertanggung jawab dan berperan penting dalam rangka melahirkan generasi perawat yang berkualitas dan berdedikasi. Sejalan dengan berkembangnya institusi pendidikan keperawatan di Indonesia ibarat “jamur yang tumbuh di musim penghujan” sejak tahun 1998 Institusi pendidikan keperawatan di tanah air sudah berjumlah “ribuan Intitusi keperawatan berdiri di tanah air. Motivasi dari pendirian insitusi inipun sangat bervariasi dari alasan “Bisnis”sampai dengan “Sosial”.
Yang kemudian menjadi pertanyaan dan keganjilan adalah banyaknya pemilik dan pengelola insititusi pendidikan keperawatan ini yang sama sekali tidak memiliki pemahaman yang cukup tentang keperawatan baik secara disiplin ilmu atau profesi. Ini menjadi penyebab rendahnya mutu lulusan dari pendidikan keperawatan yang ada.
Hal ini dapat di ukur dengan kalah bersaingnya para perawat Indonesia bila di bandingkan dengan negara-negara lain seperti Philipines dan India. Pemicu yang paling nyata adalah karena dalam sistem pendidikan keperawatan kita masih menggunakan “Bahasa Indonesia” sebagai pengantar dalam proses pendidikan. Hal tersebut yang membuat perawat kita kalah bersaing di tingkat global.
Kecenderungan  Peran Organisasi Profesi Dimasa Akan Datang
Tujuan dari sebuah reformasi adalah tercapainya suatu kondisi perubahan ke arah yang lebih baik. Perubahan keperawatan dalam hal ini tentu bertujuan dalam rangka untuk mengobarkan semangat perubahan secara multisektoral dalam dunia keperawatan nasional. Sektor keperawatan yang di maksud adalah meliputi:
1.      Perubahan Institusi Pendidikan Keperawatan
2.      Perubahan Sistem Pelayanan dan Standarisasi Praktik dan Reward Tenaga Keperawatan
3.      Perubahan Organisasi Profesi dan Birokrasi Keperawatan
Reformasi insitusi pendidikan keperawatan harus dilakukan secara total antara lain dengan tahapan langkah-langkah sebagai berikut :
a.Standarisasi jenjang, kualitas/ mutu, dari institusi pendidikan keperawatan.
b.Merubah bahasa pengantar dalam pendidikan keperawatan dengan menggunakan Bahasa Inggris.
c.Menutup Insitusi Pendidikan Keperawatan yang tidak berkualitas.
d.Insitusi Pendidikan Keperawatan harus di pimpin oleh seseorang yang memiliki latar belakang pendidikan keperawatan.
e.Standarisasi kurikulum dan evaluasi bertahan terhadap staf pengajar di insitusi pendidikan keperawatan
f.Semua dosen dan staf pengajar di institusi pendidikan keperawatan harus mampu berbahasa inggris secara aktif.
g.Memberantas segala jenis KKN di isntitusi pendidikan dari mulai perizinan, penerimaan mahasiswa, proses pendidikan dan akreditasi serta proses kelulusan mahasiswa.
Sebagai profesi, keperawatan dituntut untuk memiliki kemampuan intelektual, interpersonal kemampuan teknis dan moral. Dengan demikian diharapkan terjadi perubahan besar yang mendasar dalam upaya berpartisipasi aktif mensukseskan program pemerintah dan berwawasan yang luas tentang profesi keperawatan. Perubahan tersebut bisa dicapai apabila pendidikan tinggi keperawatan tersebut dilaksanakan dengan memperhatikan perkembangan pelayanan dan program pembangunan kesehatan seiring dengan perkembangan IPTEK bidang kesehatan/ keperawatan serta diperlukan proses pembelajaran baik institusi pendidikan maupun pengalaman belajar klinik di rumah sakit dan komunitas. (Dikutip dari : Nursalam, MN).
Praktik keperawatan sebagai tindakan keperawatan profesional masyarakat penggunaan pengetahuan teoritik yang mantap dan kokoh dari berbagai ilmu dasar serta ilmu keperawatan sebagai landasan untuk melakukan pengkajian, menegakkan diagnostik, menyusun perencanaan, melaksanakan asuhan keperawatan, dan mengevaluasi hasil tindakan keperawatan serta mengadakan penyesuaian rencana keperawatan untuk menentukan tindakan selanjutnya. Selain memiliki kemampuan intelektual, interpersonal dan teknikal, perawat juga harus mempunyai otonomi yang berarti mandiri dan bersedia menanggung risiko, bertanggung jawab dan bertanggung gugat terhadap tindakan yang dilakukannya, termasuk dalam melakukan dan mengatur dirinya sendiri.
Tapi yang terjadi di lapangan sangat memilukan, banyak sekali rekan-rekan perawat yang melakukan “Praktik Pelayanan Kedokteran dan Pengobatan” yang sangat tidak relevan dengan ilmu keperawatan itu sendiri. Hal tersebut telah membuat profesi perawat di pandang rendah oleh profesi lain. Banyak hal yang menyebabkan hal ini berlangsung berlarut-larut antara lain :
a.       Kurangnya kesadaran diri dan pengetahuan dari individu perawat itu sendiri.
b.      Tidak jelasnya aturan yang ada serta tidak tegasnya komitmen penegakan hukum di Negara Republik Indonesia.
c.       Minimnya pendapatan secara finansial dari rekan-rekan perawat secara umum.
d.      Kurang perannya organisasi profesi dalam membantu pemecahan permasalah tersebut.
e.       Rendahnya pengetahuan masyarakat, terutama di daerah yang masih menganggap bahwa perawat juga tidak berbeda dengan dokter atau petugas kesehatan yang lain.
Sementara itu dunia Pelayanan keperawatan di rumah sakit juga masih sangat jauh dari nyaman, rekan-rekan perawat diperas bekerja selama 24 jam satu hari dalam 2 atau 3 sift sedangkan pendapatan mereka masih sangat jauh dari memadai. Sekarang sudah saatnya perawat di Indonesia berteriak dan meminta gaji sama seperti rekan-rekan perawat yang bekerja di Jepang , Korea atau negara-negara maju lainnya.
Dapat disimpulkan bahwa menghadapi tantangan yang sangat berat tersebut, diperlukan perawat dengan sikap yang selalu dilandasi oleh kaidah etik profesi. Upaya yang paling strategis untuk dapat menghasilkan perawat profesional melalui pendidikan keperawatan profesional dan beberapa langkah yang telah disebutkan diatas. (Dikutip dari Tulisan Nursalam, MN “Dalam Pembangunan yang berwawasan Kesehatan).
Beberapa contoh di atas lebih disebabkan karena selama ini kita dianggap kecil oleh profesi lain dan kita tidak pernah bersuara secara bersama-sama, yakinlah bahwa tidak akan ada rumah sakit tanpa profesi perawat. Perawat sangat diperlukan dan dibutuhkan dalam pelayanan kesehatan.
Kita harus berani untuk berbicara karena keadilan itu harus ditegakkan, yang harus segera dilaksanakan adalah :
a. Penentuan standarisasi gaji buat perawat tentu setelah melalui uji kompetensi.
b. Mengirim jumlah perawat secara eksodus ke luar negeri sehingga jumlah perawat di tanah air akan lebih sedikit, sehingga akan berlaku hukum ekonomi (apabila permintaan lebih banyak dari penawaran harga akan naik). Ini telah terjadi di Philipines sehingga di sana seorang dokter spesialis, pengacara, arsitek akan meninggalkan profesinya dan kuliah di keperawatan karena profesi perawat begitu sangat terhormat.
c. Memberikan sanksi kepada rumah sakit atau institusi pelayanan kesehatan yang tidak memberi gaji sesuai dengan standar.
Pada akhirnya, reformasi memerlukan keberanian dan ketabahan yang lebih besar. Dalam reformasi keperawatan, kita berhadapan dengan kebiasaan-kebiasaan buruk yang sudah berurat berakar pada diri sendiri, pada diri kita masing-masing. Dalam reformasi keperawatan, kita harus mempelajari kebiasaan-kebiasaan baru, seperti sikap profesional, demokratis, toleran, hormat kepada hak asasi manusia (siapa pun dia) tidak melakkukan perilaku yang KKN serta hormat kepada lingkungan alamiah kita, yang lebih sesuai dengan tuntutan sebuah zaman baru.

 


Tidak ada komentar:

Posting Komentar