Suku Betawi adalah sebuah suku bangsa di Indonesia yang penduduknya umumnya bertempat tinggal di jakarta. Sejumlah pihak berpendapat bahwa Suku Betawi berasal dari hasil kawin-mawin antaretnis dan bangsa di masa lalu. Secara biologis, mereka yang mengaku sebagai orang Betawi adalah keturunan kaum berdarah campuran aneka suku dan bangsa yang didatangkan oleh Belanda ke Batavia. Apa yang disebut dengan orang atau suku Betawi sebenarnya terhitung pendatang baru di Jakarta. Kelompok etnis ini lahir dari perpaduan berbagai kelompok etnis lain yang sudah lebih dulu hidup di jakarta, seperti orang sunda, melayu, jawa, arab, bali, bugis, makasar, ambon dan tioghoa.
Istilah Betawi
Kata Betawi digunakan untuk menyatakan suku asli yang menghuni Jakarta dan bahasa MelayuKreol yang digunakannya, dan juga kebudayaan Melayunya. Kata Betawi sebenarnya berasal dari kata "Batavia," yaitu nama kuno Jakarta yang diberikan oleh Belanda.
Sejarah Suku Betawi Jakarta
Kata
Betawi digunakan untuk menyatakan suku asli yang menghuni Jakarta dan bahasa
Melayu Kreol yang digunakannya, dan juga kebudayaan Melayunya. Kata Betawi
sebenarnya berasal dari kata "Batavia," yaitu nama kuno Jakarta yang
diberikan oleh Belanda.
Diawali
oleh orang Sunda (mayoritas), sebelum abad ke-16 dan masuk ke dalam Kerajaan
Tarumanegara serta kemudian Pakuan Pajajaran. Selain orang Sunda, terdapat pula
pedagang dan pelaut asing dari pesisir utara Jawa, dari berbagai pulau
Indonesia Timur, dari Malaka di semenanjung Malaya, bahkan dari Tiongkok serta
Gujarat di India.
Antropolog
Universitas Indonesia, Dr. Yasmine Zaki Shahab, MA memperkirakan, etnis Betawi
baru terbentuk sekitar seabad lalu, antara tahun 1815-1893. Perkiraan ini
didasarkan atas studi sejarah demografi penduduk Jakarta yang dirintis
sejarawan Australia, Lance Castle. Di zaman kolonial Belanda, pemerintah selalu
melakukan sensus, yang dibuat berdasarkan bangsa atau golongan etnisnya. Dalam
data sensus penduduk Jakarta tahun 1615 dan 1815, terdapat penduduk dari
berbagai golongan etnis, tetapi tidak ada catatan mengenai golongan etnis
Betawi.
Rumah
Bugis di bagian utara Jl. Mangga Dua di daerah kampung Bugis yang dimulai pada
tahun 1690. Pada awal abad ke 20 ini masih terdapat beberapa rumah seperti ini
di daerah Kota. Hasil sensus tahun 1893 menunjukkan hilangnya sejumlah golongan
etnis yang sebelumnya ada. Misalnya saja orang Arab dan Moor, orang Jawa dan
Sunda, orang Sulawesi Selatan, orang Sumbawa, orang Ambon dan Banda, dan orang
Melayu.
Sifat
campur-aduk dalam dialek Betawi adalah cerminan dari kebudayaan Betawi secara
umum, yang merupakan hasil perkawinan berbagai macam kebudayaan, baik yang
berasal dari daerah-daerah lain di Nusantara maupun kebudayaan asing. Dalam
bidang kesenian, misalnya, orang Betawi memiliki seni Gambang Kromong yang
berasal dari seni musik Tiongkok, tetapi juga ada Rebana yang berakar pada
tradisi musik Arab, Keroncong Tugu dengan latar belakang Portugis-Arab dan
Tanjidor yang berlatar belakang ke-Belanda-an.
Secara
biologis, mereka yang mengaku sebagai orang Betawi adalah keturunan kaum
berdarah campuran aneka suku dan bangsa. Mereka adalah hasil kawin-mawin
antaretnis dan bangsa di masa lalu.
Terbentuknya Kebudayaan Suku Betawi Jakarta
Kebudayaan
suku Betawi merupakan kebudayaan asli kota Jakarta. Kebudayaan suku Betawi
terbentuk akibat akulturasi (pencampuran) berbagai kebudayaan yang telah ada
sebelumnya. Karena sikap keterbukaan orang Betawi dan penghargaan tinggi
terhadap perbedaan juga turut mempercepat akulturasi tersebut. Karena
akulturasi itu, kebudayaan suku Betawi dapat dikelompokkan berdasarkan pengaruh
kebudayaan-kebudayaan asal yang membentuknya, yaitu :
Ø Kebudayaan yang terbentuk karena pengaruh kebudayaan
Arab dan Melayu, seperti alat musik Samrah, Rebana dan Marawis.
Ø Kebudayaan yang terbentuk karena pengaruh kebudayaan
Cina, seperti tari Yapong, Lenong, tari Cokek, Gambang Kromong, dan Topeng
Betawi.
Ø Kebudayaan yang terbentuk karena pengaruh kebudayaan
Portugis dan Belanda, seperti Keroncong Tugu dan Tanjidor.
Kebudayaan
suku Betawi bisa jadi menjadi kebudayaan terkaya di Indonesia. Mengingat
akulturasi pada suku ini sangat banyak. Tidak mengherankan jika kebudayaan suku
Betawi dapat menarik minat pendatang untuk tinggal di Jakarta untuk
berlangsungnya kebudayaan Betawi secara turun-temurun.
Kebudayaan Suku Betawi dalam seni musik
Gambang Kromong
Salah
satu musik khas dari kesenian Betawi yang paling terkenal adalah Gambang
Kromong, dimana dalam setiap kesempatan perihal Betawi, Gambang Kromong
selalu menjadi tempat yang paling utama. Hampir setiap pemberitaan yang
ditayangkan di televisi, Gambang Kromong selalu menjadi ilustrasi musiknya.
Kesenian
musik ini merupakan perpaduan dari kesenian musik setempat dengan Cina.
Hal ini dapat dilihat dari instrumen musik yang digunakan, seperti alat musik
gesek dari Cina yang bernama Kongahyan, Tehyan dan Sukong. Sementara alat musik
Betawi antara lain; gambang, kromong, kemor, kecrek, gendang kempul dan gong.
Kesenian
Gambang Kromong berkembang pada abad 18, khususnya di sekitaran daerah
Tangerang. Bermula dari sekelompok grup musik yang dimainkan oleh beberapa
orang pekerja pribumi di perkebunan milik Nie Hu Kong yang berkolaborasi dengan
dua orang wanita perantauan Cina yang baru tiba dengan membawa Tehyan dan
Kongahyan.
Pada
awalnya lagu-lagu yang dimainkan adalah lagu-lagu Cina, pada istilah sekarang
lagu-lagu klasik semacam ini disebut Phobin. Lagu Gambang Kromong muatan lokal
yang masih kental unsur klasiknya bisa didengarkan lewat lagu Jali-Jali Bunga
Siantan, Cente Manis, dan Renggong Buyut.
Pada
tahun 70-an Gambang Kromong sempat terdongkrak keberadaannya lewat sentuhan
kreativitas "Panjak" Betawi legendaris "Si Macan Kemayoran",
Almarhum H. Benyamin Syueb bin Ji'ung. Dengan sentuhan berbagai aliran musik
yang ada, jadilah Gambang Kromong seperti yang kita dengar sekarang. Hampir di
tiap hajatan atau "kriya'an" yang ada di tiap kampung Betawi,
mencantumkan Gambang Kromong sebagai menu hidangan musik yanh paling utama. Seniman
Gambang Kromong yang dikenal selain H. Benyamin Syueb adalah Nirin Kumpul, H.
Jayadi dan bapak Nya'at.
Seiring
dengan perkembangan zaman, keberadaan musik ini menjadi
"terengah-engah" antara hidup dan mati (dalam tabel yang dibuat Yahya
AS termasuk dalam kondisi "sedang"). Musik ini hanya terdengar di
antara bulan Juni saja, yaitu sewaktu hari ulang tahun Jakarta. padahal tanggal
dan tahun kelahiran kota jakarta saja belum jelas pastinya. Itupun di tempat-tempat
tertentu, seperti di Setu Babakan misalnya.
Diperlukan
pembinaan dan pelestarian berkelanjutan seni musik Gambang Kromong ini,
khususnya bagi generasi muda Betawi. Kepedulian generasi muda Betawi terhadap
keseniannya (seni musik dan seni silat) hendaknya harus melebihi generasi muda
di daerah lainnya, karena keberadaan etnis Betawi itu sendiri yang berada di
ibu kota Jakarta sebagai etalase kebudayaan Indonesia.
Kebudayaan Suku Betawi dalam seni teater
Lenong Betawi
Lenong
adalah teater rakyat khas Betawi yang dikenal sejak tahun 1920-an. Sejak awal
keberadaannya, diiringi dengan musik gambang kromong. Dalam dua Lenong dikenal
dua jenis cerita yaitu Lenong Denes (bercerita tentang kerajaan atau kaum
bangsawan) sementara Lenong Preman berkisah tentang kehidupan rakyat
sehari-hari ataupun dunia jagoan.
Lenong
Denes sendiri adalah perkembangan dari bermacam bentuk teater rakyat Betawi
yang sudah punah, seperti wayang sumedar, wayang senggol ataupun wayang
dermuluk. Sementara lenong preman disebut-sebut sebagai perkembangan dari
wayang sironda. Yang cukup signifikan dalam perbedaan penampilan kedua
lenong tersebut, Lenong Denes umumnya menggunakan bahasa Melayu halus, sedang
Lenong Preman rata-rata menggunakan bahasa Betawi sehari-hari.
Beberapa
seniman Lenong Betawi terkenal yang lahir dan terkenal dari kesenian ini cukup
banyak. Sebut saja H. Bokir (alm), Mpok Nori sampai Mandra. Namun tokoh dalam
bidang ini siapa lagi kalau bukan H.M. Nasir T (Bang Nasir).
Kebudayaan Suku Betawi dalam seni tari
Tari Yapong
Tari
Yapong ialah tari yang aktraktif yang para penarinya menggunakan pakaian merah
mencolok bernuansa Cina dengan konde yang khas mengerucut diatas kepala. Musik
pengiringnya adalah musik-musik perkusi yang dinamis dan meriah. Dalam tradisi
kebudayaan suku Betawi, tarian ini biasa dibawakan pada pertemuan resmi,
seperti penyambutan tamu kehormatan dan pembukaan suatu kegiatan.
Kesenian Suku Betawi Ondel-Ondel
Ondel-ondel
merupakan hasil dari kebudayaan Betawi yang berupa boneka besar yang tingginya
mencapai sekitar ± 2,5 m dengan garis tengah ± 80 cm, boneka ini dibuat dari
anyaman bambu yang dibuat agar dapat dipikul dari dalam oleh orang yang
membawanya. Boneka tersebut dipakai dan dimainkan oleh orang yang
membawanya. Pada wajahnya berupa topeng atau kedok yang dipakaikan ke anyaman
bambu tersebut, dengan kepala yang diberi rambut dibuat dari ijuk. Wajah
ondel-ondel laki-laki biasanya di cat dengan warna merah, sedangkan yang
perempuan dicat dengan warna putih.
Jenis
pertunjukan ini diduga sudah ada sebelum tersebarnya agama Islam di pulau Jawa
dan juga terdapat di berbagai daerah dengan pertunjukkan yang sejenis. Di
Pasundan dikenal dengan sebutan Badawang, di Jawa Tengah disebut Barongan
Buncis, sedangkan di Bali dikenal dengan nama Barong Landung.
Awal
mulanya pertunjukan ondel-ondel ini berfungsi sebagai penolak bala dari
gangguan roh halus yang mengganggu. Namun semakin lama tradisi tersebut berubah
menjadi hal yang sangat bagus untuk dipertontonkan, dan kebanyakan acara
tersebut kini di adakan pada acara penyambutan tamu terhormat, dan untuk
menyemarakkan pesta-pesta rakyat serta peresmian gedung yang baru selesai
dibangun.
Disamping
untuk memeriahkan arak-arakan pada masa yang lalu biasa pula mengadakan
pertunjukan keliling, “Ngamen”. Terutama pada perayaan-perayaan Tahun Baru,
baik masehi maupun Imlek. Sasaran pada perayaan Tahun Baru Masehi daerah
Menteng, yang banyak dihuni orang-orang Kristen. Pendukung utama kesenian
ondel-ondel adalah petani yang termasuk “abangan”, khususnya yang terdapat di
daerah pinggiran kota Jakarta dan sekitarnya.
Musik
yang mengiringi ondel-ondel tidak tertentu, tergantung dari masing-masing rombongan. Ada yang
diiringi tanjidor, seperti rombongan ondel-ondel pimpinan Gejen, kampung
setu. Ada yang diiringi dengan pencak Betawi seperti rombongan “Beringin Sakti”
pimpinan Duloh, sekarang pimpinan Yasin, dari Rawasari. Adapula yang diiringi
Bende, “Kemes”, Ningnong dan Rebana ketimpring, seperti rombongan ondel-ondel
pimpinan Lamoh, Kalideres. Ondel-ondel betawi tersebut pada dasarnya masih
tetap bertahan dan menjadi penghias di wajah kota metropolitan Jakarta.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar